Berbakti Untuk Negeri

...

...

Kenangan Bersama Kawan

Kenangan Bersama Kawan
DI Gunung Salak

globe

SEJARAH BIMA (BAGIAN I)

By : Muhammad Hajaruddin Altek

Asal Usul Kata “Bima” Nama “Bima” dipergunakan untuk mengabadikan nama Sang Bima. Sang Bima adalah tokoh sejarah daerah ini yang berasal dari luar daerah. Ia dinyatakan sebagai raja pertama di daerah ini, dan keturunan Sang Bima mempunyai hak sah atas tahta kerajaan secara turun temurun. Wilayah yang dikuasai Sang Bima disebut dengan nama Kerajaan Bima. Sedangkan nama lain dari Bima adalah Mbojo. Menurut cerita, nama Mbojo berasal dari istilah bahasa Bima “BABUJU”. Babuju adalah tanah yang tinggi, busut jantan. Tanah semacam itu dalam bahasa Bima disebut “DANA MA BABUJU “. Pada Dana Ma Babuju dijadikan tempat pelantikan raja yang di lakukan di luar Istana. Dari istilah itu kemudian berubah pengucapan menjadi MBOJO. Versi lainnya, berdasarkan cerita rakyat tentang Sang Bima. Sang Bima berasal dari Jawa. Sebuah tambo menceritakan, Sang Bima adalah Bangsawan Jawa keturunan raja Majapahit putra dari Pandu Dewanata berputra 5 orang yaitu: 1. Darmawangsa, 2. Sang Bima, 3. Sang Arjuna, 4. Sang Nakulo, 5. Sang Sedewo (cerita pewayangan jawa). Sang Bima salah seorang dari lima bersaudara melanglang buana ke arah timur singgah dipulau Satonda bertemu dengan seekor naga betina bersisik emas, saat itu sedang menjelma sebagai seorang putri cantik. Konon dalam sebuah hikayat, Sang Bima di suruh gurunya, Sang Durna mencari air suci kearah timur. Keduanya lalu kawin, setelah kawin, Sang Bima meneruskan perjalanannya ke arah timur dalam waktu yang cukup lama. Menurut tambo lain, keduanya tidak kawin secara pisik tetapi hanya berpandangan (beradu mata). Setelah kembali dari timur, Sang Bima tidak menemukan Sang Naga Betina. Yang ditemukan seorang putri cantik rupawan bernama Putri Tasi Sari Naga. Melihat Putri Tasi Sari Naga, Sang Bima tertarik lalu kawin. Ternyata Putri Tasi Sari Naga adalah anaknya sendiri. Namun hal ini Sang Bima tidak mengetahuinya. Dari perkawinan ini lahir dua orang putra bernama Indra Zamrut dan Indra Komala. Ketika Sang Bima meninggalkan “Dana Mbojo”, bersama isteri dan keluarganya, Sang Bima berpesan kepada Dewan Ncuhi, bahwa suatu waktu kelak, keturunannya akan kembali dan menjadi Raja di Dana Mbojo (Bima). Selang waktu yang cukup lama, kedua putra Sang Bima, bernama Indra Zamrut dan Indra Komala akhirnya datang ke Bima (Dana Mbojo). Keduanya datang untuk menerima kembali kekuasaan Sang Bima yang diwakilkan kepada Ncuhi Dara Tiada lazim bagi masyarakat Bima menyebut nama sebenarnya suami atau istri. Suami akan menyebut isterinya ”Sia doho siwe”, sedangkan isteri menyebut suaminya ”Dou doho mone” atau keduanya menyebut ”Dou di uma”. Demikian pula Sang Bima, harus menyesuaikan dengan tatakrama di Bima dengan menyebut nama isterinya Putri Tasi Sari Naga dengan ”Sia doho siwe”. Padahal ketentuan seperti itu baginya bukan hal yang baru. Di negerinya tanah Jawa isteri dipanggil Bojo. Sang Bima tidak menggunakan kata ”Sia doho siwe” untuk memperkenalkan isterinya kepada orang lain melainkan bojo yang berasal dari bahasa Jawa dengan pengucapan Mbojo. Selanjutnya anak Sang Bima Indra Zamrut menjadi Raja Bima. Ia menikah dengan Puteri Ratna Sari Peri yang berputra 3 orang : Batara Indra Bima, Batara Indra Dewa dan Puteri Ratna Dewi. Selanjutnya menjadi Raja Kerajaan Bima adalah : Batara Bima, Batara Sang Luka, Maharaja Mitra Indra Tarati, Manggampo Jawa, Pada masa ini dirintis penulisan BO sebagai sumber sejarah Bima. BO yang dibuat pada masa itu memakai lontar dengan tulisan Bima. Keberhasilan Manggampo Jawa dilanjutkan oleh Raja Indra Luka dan Maha¬raja Bima Indra Suri yang mempunyai 30 orang anak, kemudian Bima semakin berkembang saat Indra Suri digantikan oleh Raja Ma Wa’a Paju Longge dimana Ruma Tureli Nggampo (Perdana Menteri dipegang oleh adiknya Manggampo Donggo dan Ma Waa Bilmana, yang selanjutnya melalui sumpah mereka membagi jabatan Ma Waa Bilmana sebagai Tureli Nggampo sedangkan Manggampo Donggo sebagai Raja) Pada masa ini (sekitar Abad XV) terdapat tokoh militer muda yang cerdas yaitu La Mbila, yang bertugas memperluas daerah kekuasaan Kerajaan Bima yang pada masa itu berhasil menguasai hampir seluruh NTT sekarang seperti Alor Timur, Sumba dan Sawu. Selanjutnya penggantinya Raja Ma Wa’a Ndapa berhasil mempertahankan puncak kejayaan Kerajaan Bima hingga abad XVI. Namun kemegahan Bima pada awal abad XVII terhenti sejenak, kerajaan Bima mengalami kemelut berkepanjangan. Peristiwa sedih itu terjadi karena ulah tokoh bernama Salisi Ma Ntau Asi Peka, putera Raja Ma Waa Ndapa. Menurut adat ia tidak berhak untuk menjadi Raja, karena masih ada putera Raja yang lebih berhak. Salisi melakukan teror dengan membunuh Raja Samara dan Sarise, bahkan putra mahkota yang tidak berdosa dibunuhnya di padang rumput perburuan Wera. Sasaran Salisi berikutnya adalah Jenateke (putra mahkota) La Ka’i masih berada di Istana. Walau masyarakat Bima sudah mengenal Islam sejak di bawa oleh Sunan Prapen Tahun 1540, namun Pada tahun 1617 (1028 H) Islam mulai menyebar secara luas di Bima secara damai. Selanjutnya menurut BO, Ruma Ma Bata Wadu (La Ka’i), La Mbila, Bumi Jara, dan Manuru Bata sepakat menerima ajaran Islam. Selanjutnya La Ka’i berganti nama menjadi Abdul Kahir. Kejadian itu terjadi pada 10 Rabiul Awal 1030 H. (1619). Setelah melalui perjuangan yang panjang akhirnya La Ka’i atas bantuan kesultanan Makasar berhasil mengalahkan Salisi yang di bantu Balanda. Setelah tiga bulan kemenangan, pada Tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H atau 5 Juli 1640, Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I. Lalu berturut - turut: Sultan Abdul Khair, Sultan Nurudin Abubakar, Sultan Jamaluddin, Sultan Hasanuddin, Sultan Alauddin, Sultan Abdul Qadim, Sultan Abdul Hamid, Sultan Ismail, Sultan Abdullah, Sultan Abdul Azis, Sultan Ibrahim dan terakhir Sultan Muhammad Salahuddin. Kemudian Jenateke (Sultan muda) H. Abdul Kahir II dan sekarang Jenateke (Sultan muda) Ferry Zulkarnain.

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar OKE