Berbakti Untuk Negeri

...

...

Kenangan Bersama Kawan

Kenangan Bersama Kawan
DI Gunung Salak

globe

TERSESAT DI KAMPUNG JIN PANTAI ULE BIMA


E

ntah mengapa, aku amat menyukai objek wisata pantai Ule itu. Mungkin karna itulah, hampir semalaman mataku sulit di pejamkan sebab selalu terbayang betapa asiknya perjalanan wisata ke pantai Ule, Asa Kota, Kota Bima. Rencananya besok aku memang akan mengisi liburan mingguan setelah enam hari berkutat dengan rutinitas kerja yang melelahkan.

Adzan dhuhur terdengar dari corong masjid yang terletak tidak jauh dari rumah kost dimana aku tinggal di lingkungan Salama, kelurahan Na’e, Kota Bima. Hawa panas yang menyapu seluruh dinding bagian luar kost ku seakan-akan terasa menembus kedalam ruangan, mungkin karna keadaan itulah sebabnya aku tidak pernah tahan untuk berada di kost pada waktu siang hari.

Tepat pukul 1 siang, sahabatku Randy datang menjemput. Setelah sejenak berbincang sambil menyeruput teh dingin, kami pun berangkat dengan berboncengan sepeda motor milik Randy menuju lokasi yang di tuju.

Perjalanan melewati jalan-jalan Kota tidaklah terlalu istimewa bagiku. Namun memasuki tanjakan pertama yang sekaligus perbatasan kelurahan Melayu dengan Objek wisata pantai Ule, suasana mulai terasa istimawa. Hawa sejuk merasuki anggota tubuhku yang berbalut jaket tebal. Selain itu pemandangan alam perbukitan yang indah nan hijau membuat segar badan dan pikiran.

Di sebuah tikungan jalan tempat kami berhenti untuk istirahat sejenak. Iseng-iseng, ku coba merentangkan tangan memeluk batang pohon besar yang ada di sana. Ternyata, diameternya bisa tiga kali rentangan tangan.

Sebenarnya, bukan sekali ini aku berkunjung ke pantai Ule. Sudah beberapa kali aku mengunjunginya, entah mengapa aku suka sekali dengan pantai Ule. Mungkin karna perjalananya yang mengasikan dan hawanya yang sejuk. Di samping jaraknya yang tidak terlalu jauh dari kampung Salama yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit saja. Sehingga dengan mudah setiap orang berkunjung ke tempat wisata tersebut. Termasuk aku dengan Randy.

Selama aku mengenal pantai Ule tidak pernah aku mendengar ada kejanggalan, baik dari cerita orang-orang maupun yang pernah ku rasakan sendiri. Karna seingatku sejak empat tahun lalu aku merantau ke Kota Bima, pantai Ule adalah sasaran utama objek wisata ku. Setiap waktu hanya ku habiskan di situ, jadi sangat mustahil aku tidak mengetahui adanya kejanggalan yang pernah terjadi di pantai itu.

Setelah sejenak berhenti aku dan Randy melanjutkan kembali perjalan ketempat yang telah menjadi langganan kami itu. Aku menghelai nafas, “hahh Ule, kau sangat berarti bagiku, setelah enam hari dengan rutinitas kerja yang melelahkan, kini kau telah menyegarkanku kembali dengan hawa sejukmu.” Gumamku dalam hati.

Beberapa menit kemudian seingatku, aku mulai merasakan keanehan yang tidak biasanya kurasakan bila berkunjung ke kawasan itu. Di arah depan terlihat kabut yang cukup tebal, hal itu membuat jarak pandang mungkin hanya sekitar empat sampai lima meter saja. Padahal hari terlihat cukup cerah dan waktunya masih siang hari bolong. Jadi, tidak ada alasan dengan kabut itu.

“ah, mungkin ini fenomena alam biasa. Karna musim penghujan akan segara tiba!” pikirku.

Kira-kira semenit kurasakan menembus kabut tebal itu, akhirnya kabut pun mulai menipis. Setelah itu, aku merasa sedang memasuki sebuah perkampungan yang amat asing bagiku. Padahal, seingatku tidak ada kampumg lagi selain kampung yang kami lewati sebelum jembatan tadi. Itupun tidak layak disebut perkampungan karna di situ cuman beberapa rumah saja.

“wah, kampung ini memang aneh, kalau begitu aku tanya saja orang-orang itu.” kataku. Yang memang pada saat itu terlihat beberapa orang tengah berjalan. Setengah berbisik aku memperhatikan keadaan kampung itu dengan hati yang kian tak menentu. Hal utama yang paling menarik perhatianku adalah ketika aku melihat banyak sekali jagung yang sudah di kupas dan di jemur di pinggir jalan. Terlihat beberapa orang laki-laki sedang berdiri di depan pintu pagar rumahnya masing-masing. Ada juga wanita yang sedang menggendong anaknya dengan kain batik khas daerah Bima. Kulihat pula ada orang sedang membakar sampah di halaman rumahnya. Dari semua yang ku perhatikan itu, untuk sementara aku belum menyadari adanya keanehan dari orang-orang itu.

Akupun berjalan kearah wanita yang sedang sibuk menyapu lantai warungnya, aku memperhatikan keadaan warung kecil itu. Warung itu terlihat menjuaal kebutuhan sehari-hari seperti sabun, snack, pisang goreng, permen, beras, jagung dan lain-lain.

Kemudian kuperhatikan wanita pemilik warung itu. Ku coba untuk mengenali wajahnya. Tapi tidak bisa. Rambutnya yang panjang terurai kira-kira sebatas punggung. Seolah mengerti kalau sedang kuperhatikan, dia hanya menunduk sambil tangannya terus menyapu-nyapu lantai yang sebenarnya sudah bersih.

Aku mencoba bertanya kepadanya. Tapi anehnya wanita pemilik warung itu tidak terlihat mengangkat wajahnya. Dia sepertinya tidak ingin wajahnya diketahui orang lain. Akupun mencoba untuk bertanya lagi, dan akhirnya diapun menjawab pertanyaan ku, tapi mukanya masih terus menunduk.

Karena penasaran, aku mencoba agar bisa mendekati wanita itu. Ketika itu, spontan terlintas dalam pikiranku hendak membeli pisang goreng. Disamping untuk melihat lebih dekat si penilik warung, setidaknya pisang goreng itu lumayan juga untuk penjanggal perut. Pikirku dalam hati.

“ Assalamualaikum !” aku memberi salam padanya. Tanpa menjawab salamku, kali ini dia berhenti menyapu tapi tetap menundukkan kepalanya.

Lalu katanya dengan ketus, “ada apa lagi, mas!”

“ saya mau beli pisang gorengnya, bu!” jawabku.

Wanita itu terdiam sejenak, lalu jarinya menunjuk kearah plastik pembungkus, sambil katanya lagi, “silahkan pilih saja… itu kantongnya!”

Aku mengambil kantong plastik di dekat pisang goreng itu. Lalu aku masukan sepuluh buah kedalamnya. “sepuluh biji saja, bu. Berapa harganya ?” tanya ku.

“berapa saja, mas.” Jawabnya.

Aku sebenarnya bingung, tapi cepa-cepat ku buang kebingungan itu lalu aku coba tetap konsentrasi. Ku ambil uang selembar lima ribuan, dan ingin ku berikan langsung kepadanya. Tapi sebelum uang ku berikan, si pemilik warung berkata lagi, “uangnya taruh diatas situ saja, mas.” Sambil menunjuk dagangan pisang gorengnya. Kini perempuan itu berdiri dibelakang tumpukan karung beras setinggi perutnya, dengan kepala tetap menunduk. Aku menaruh lembar lima ribuan itu, lalu segera permisi pergi. Tak lupa ku ucapkan terima kasih pada si wanita penjaga warung itu, meski dia tetap diam tak menjawab. Akupun beranjak pergi, sambil berjalan ku perhatikan orang-orang

Majalah NTB HISTORY …..

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar OKE