E |
ntah mengapa, aku amat menyukai objek wisata pantai Ule itu. Mungkin karna itulah, hampir semalaman mataku sulit di pejamkan sebab selalu terbayang betapa asiknya perjalanan wisata ke pantai Ule, Asa Kota, Kota Bima. Rencananya besok aku memang akan mengisi liburan mingguan setelah enam hari berkutat dengan rutinitas kerja yang melelahkan.
Adzan dhuhur terdengar dari corong masjid yang terletak tidak jauh dari rumah kost dimana aku tinggal di lingkungan Salama, kelurahan Na’e, Kota Bima. Hawa panas yang menyapu seluruh dinding bagian luar kost ku seakan-akan terasa menembus kedalam ruangan, mungkin karna keadaan itulah sebabnya aku tidak pernah tahan untuk berada di kost pada waktu siang hari.
Tepat pukul 1 siang, sahabatku Randy datang menjemput. Setelah sejenak berbincang sambil menyeruput teh dingin, kami pun berangkat dengan berboncengan sepeda motor milik Randy menuju lokasi yang di tuju.
Perjalanan melewati jalan-jalan
Di sebuah tikungan jalan tempat kami berhenti untuk istirahat sejenak. Iseng-iseng, ku coba merentangkan tangan memeluk batang pohon besar yang ada di
Sebenarnya, bukan sekali ini aku berkunjung ke pantai Ule. Sudah beberapa kali aku mengunjunginya, entah mengapa aku suka sekali dengan pantai Ule. Mungkin karna perjalananya yang mengasikan dan hawanya yang sejuk. Di samping jaraknya yang tidak terlalu jauh dari kampung Salama yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit saja. Sehingga dengan mudah setiap orang berkunjung ke tempat wisata tersebut. Termasuk aku dengan Randy.
Selama aku mengenal pantai Ule tidak pernah aku mendengar ada kejanggalan, baik dari cerita orang-orang maupun yang pernah ku rasakan sendiri. Karna seingatku sejak empat tahun lalu aku merantau ke Kota Bima, pantai Ule adalah sasaran utama objek wisata ku. Setiap waktu hanya ku habiskan di situ, jadi sangat mustahil aku tidak mengetahui adanya kejanggalan yang pernah terjadi di pantai itu.
Setelah sejenak berhenti aku dan Randy melanjutkan kembali perjalan ketempat yang telah menjadi langganan kami itu. Aku menghelai nafas, “hahh Ule, kau sangat berarti bagiku, setelah enam hari dengan rutinitas kerja yang melelahkan, kini kau telah menyegarkanku kembali dengan hawa sejukmu.” Gumamku dalam hati.
Beberapa menit kemudian seingatku, aku mulai merasakan keanehan yang tidak biasanya kurasakan bila berkunjung ke kawasan itu. Di arah depan terlihat kabut yang cukup tebal, hal itu membuat jarak pandang mungkin hanya sekitar empat sampai
“ah, mungkin ini fenomena alam biasa. Karna musim penghujan akan segara tiba!” pikirku.
Kira-kira semenit kurasakan menembus kabut tebal itu, akhirnya kabut pun mulai menipis. Setelah itu, aku merasa sedang memasuki sebuah perkampungan yang amat asing bagiku. Padahal, seingatku tidak ada kampumg lagi selain kampung yang kami lewati sebelum jembatan tadi. Itupun tidak layak disebut perkampungan karna di situ cuman beberapa rumah saja.
“wah, kampung ini memang aneh, kalau begitu aku tanya saja orang-orang itu.” kataku. Yang memang pada saat itu terlihat beberapa orang tengah berjalan. Setengah berbisik aku memperhatikan keadaan kampung itu dengan hati yang kian tak menentu. Hal utama yang paling menarik perhatianku adalah ketika aku melihat banyak sekali jagung yang sudah di kupas dan di jemur di pinggir jalan. Terlihat beberapa orang laki-laki sedang berdiri di depan pintu pagar rumahnya masing-masing.
Akupun berjalan kearah wanita yang sedang sibuk menyapu lantai warungnya, aku memperhatikan keadaan warung kecil itu. Warung itu terlihat menjuaal kebutuhan sehari-hari seperti sabun, snack, pisang goreng, permen, beras, jagung dan lain-lain.
Kemudian kuperhatikan wanita pemilik warung itu. Ku coba untuk mengenali wajahnya. Tapi tidak bisa. Rambutnya yang panjang terurai kira-kira sebatas punggung. Seolah mengerti kalau sedang kuperhatikan, dia hanya menunduk sambil tangannya terus menyapu-nyapu lantai yang sebenarnya sudah bersih.
Aku mencoba bertanya kepadanya. Tapi anehnya wanita pemilik warung itu tidak terlihat mengangkat wajahnya. Dia sepertinya tidak ingin wajahnya diketahui orang lain. Akupun mencoba untuk bertanya lagi, dan akhirnya diapun menjawab pertanyaan ku, tapi mukanya masih terus menunduk.
Karena penasaran, aku mencoba agar bisa mendekati wanita itu. Ketika itu, spontan terlintas dalam pikiranku hendak membeli pisang goreng. Disamping untuk melihat lebih dekat si penilik warung, setidaknya pisang goreng itu lumayan juga untuk penjanggal perut. Pikirku dalam hati.
“ Assalamualaikum !” aku memberi salam padanya. Tanpa menjawab salamku, kali ini dia berhenti menyapu tapi tetap menundukkan kepalanya.
Lalu katanya dengan ketus, “ada apa lagi, mas!”
“ saya mau beli pisang gorengnya, bu!” jawabku.
Wanita itu terdiam sejenak, lalu jarinya menunjuk kearah plastik pembungkus, sambil katanya lagi, “silahkan pilih saja… itu kantongnya!”
Aku mengambil kantong plastik di dekat pisang goreng itu. Lalu aku masukan sepuluh buah kedalamnya. “sepuluh biji saja, bu. Berapa harganya ?” tanya ku.
“berapa saja, mas.” Jawabnya.
Aku sebenarnya bingung, tapi cepa-cepat ku buang kebingungan itu lalu aku coba tetap konsentrasi. Ku ambil uang selembar
Majalah NTB HISTORY …..
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar OKE