Berbakti Untuk Negeri

...

...

Kenangan Bersama Kawan

Kenangan Bersama Kawan
DI Gunung Salak

globe

SEJARAH KERAJAAN TALAGA PASCA MASUKNYA ISLAM

Oleh. M.Hajarudin

Ratu Sunyalarang dan Raden Ragamantri Masuk Islam

Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Ragamantri mengucapkan syahadatain, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga serta ungkapan rasa syukur ke Hadhirat Allah Ta’ala.

Hasil pernikahan Ratu Parung, Ratu Sunyalarang dengan Raden Raganantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra, yaitu:

  1. Prabu Haur Kuning;
  2. Aria Kikis, Sunan Wanaperih;
  3. Dalem Lumaju Ageng Maja;
  4. Sunan Umbuluar Santoan Singandaru;
  5. Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka; dan
  6. Dalem Panaekan.

Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung, dan demi keamanan dan pengikisan oleh air kemudian makam beliau dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikiray oleh Raden Acap Kartadilaga pada tahun 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang, makamnya diketemukan pada hari Senin, 22 Rajab 1424 H. atau bertepatan dengan 22 September 2003 oleh penulis. Kuburan beliau terletak diluar bangunan utama tempat penjiarahan, persisnya di bawah rindangnya pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan[1]. Sesuai saran beliau, kuburannya ditandai tiga buah batu biasa sebagi batu nisan.[2]

Perang Talaga Pada Masa Pemerintahan Arya Kikis

Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung, Talaga dipimpin oleh Arya Kikis (Sunan Wanaperih), putera kedua Ratu Parung pada tahun 1550 M. Arya Kikis adalah seorang Narpati dan da’i Islam yang handal. Beliau mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu beliau adalah Raja Muda Cianjur, Raden Aria Wiratanudatar atau yang dikenal dengan Dalem Cikundul.

Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah (lagi susah), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga “ditolak”. Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Arya Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak.

Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan.

Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga.

Kesepakatan Keraton Ciburang

Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala.

Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam; yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah.

Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuhun Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak.

Kemudian Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah mengijinkan kepada Pangeran Arya Kikis untuk bertafakur di kampungnya yaitu Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati.

Sunan Wanaperih mempunyai enam orang anak, empat orang putera dan dua orang puteri. Mereka adalah:

  1. Dalem Kulanata Maja[3];
  2. Dalem Cageur Darma;
  3. Raden Apun Surawijaya;
  4. Ny. Ratu Radeya[4];
  5. Ny. Ratu Putri[5]; dan
  6. Dalem Waqngsagoparana[6].

Pemerintahan Raden Apun Surawijaya.

Raden Apun Surawijaya memerintah Talaga sepeninggal ayahanda beliau Arya Kikis pada tahun 1590. Beliau adalah seorang Narpati Talaga yang gagah rongkah sakti mandraguna, akan tetapi sangat mencintai dan dicintai para pembantu beliau dan bahkan dengan kegagahan dan wibawanya itu beliau ditakuti lawan. Makam beliau terdapat di Kampung Lemah Abang, Desa Cikeusal, Kecamatan Talaga-Majalengka.

Raden Apun Surawijaya, Sunan Kidul mempunyai empat orang putera yaitu:

  1. Dalem Salawangi;
  2. Sunan Cibalagung (Cianjur);
  3. Pangeran Surawijaya (Sunan Ciburuy); dan
  4. Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa pemerintahan Raden Apun Surawijaya Kerajaan Talaga sudah dibawah kekuasaan Cirebon. Walaupun demikian Sang Narpati Talaga itu tetap setia dan patuh pada Kesepakatan Ciburang yang telah dibuat oleh para pembesar Talaga maupun Cirebon. Agama Islam dan perasaan “saakar jeung sakaruhun” telah merekatkan tali persaudaraan dan tali kekeluargaan kedua negara tersebut. Memang ada kata-kata leluhur yang mengatakan: “Ari numoro (nyangkalak) rampog-mah Talaga, nanging ari congcotnya bagian Cirebon”. Demikian ini mungkin diucapkan untuk menyatakan adanya ketidak adilan yang muncul, dan itulah nampaknya yang menyebabkan Perang Talaga berlangsung.

Sebagai seorang penguasa yang dicintai dan mencintai rakyatnya, Raden Apun Surawijaya telah berhasil meningkatkan tingkat kesejahteraan para petani. Pada masa beliau berbagai bendungan irigasi (dam) dibangun, beliau sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan rakyat, khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Pemerintahan Raden Arya Adipati Surawijaya.

Raden Arya Adipati Surawijaya (Sunan Ciburuy), putera ketiga Raden Apun Surawijaya menjadi raja menggantikan ayahnda beliau pada tahun 1635 M. Beliau menikahi Ratu Kartaningrat, adik Sultan Panembahan Kasepuhan Cirebon. Raden Arya Adipati Surawijaya dalam melaksanakan tugas pemerintahannya didampingi Sang Patih, Aria Paningsingan, seorang senapati yang gagah dan berani.

Dari hasil pernikahan antara Raden Arya Adipati Surawijaya dengan Ratu Kartaningrat beliau dikaruniai Allah SWT lima orang putera dan satu orang puteri, yakni:

1. Pangeran Adipati Suwarga;

2. Pangeran Jayawiriya;

3. Pangeran Kusumayuda;

4. Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje, Subang);

5. …………………..(tidak diketahui namanya); dan

6. Ratu Puteri Tilanagara.

Pemerintahan Raden Adipati Suwarga

Selanjutnya yang memerintah Talaga adalah putera cikal Raden Arya Adipati Surawijaya yang bernama Pangeran Adipati Suwarga, beliau naik tahta tahun 1675 M. Pangeran Adipati Suwarga menikahi dua orang isteri, yaitu:

1. Ratu Losari Cirebon; dan

2. Nyi Mas Jitra dari Nunuk (Cengal).

Dari pernikahan Pangeran Adipati Suwarga dengan Ratu Losari dikaruniai putera yang bernama Pangeran Aria Sacadilaga, sedangkan dari penikahan beliau dengan Nyi Mas Jitra dikaruniai putera yang bernama Pangeran Adipati Wiranata.

Talaga Terpecah Menjadi Dua Kerajaan

Ketika Pangeran Adipati Wiranata mau dinobatkan sebagai Narpati Talaga tahun 1715 M muncul protes dari putera Pangeran Kusumayuda yang bernama Pangeran Natadilaga. Beliau merasa berhak untuk menjadi Narpati Talaga. Melihat kondisi demikian, para sesepuh Talaga segera mengadakan musyawarah dengan keputusan bahwa Talaga harus dibagi dua, yakni menjadi dua kesultanan:

1. Kesultanan Talagakidul, yang dipimpin oleh Adipati Wiranata; dan

2. Kesultanan Talagakaler, yang dipimpin oleh Pangeran Natadilaga.

Ketika itu pula disepakati bahwa Talaga dibagi menjadi empat sudut mata angin Kabupatian yang meliputi:

1. Kebupatian Talagakidul; dipimpin oleh Pangeran Adipati Sacanata, putera ke-3 Pangeran Adipati Wiranata;

2. Kebupatian Talagakaler; dipimpin oleh Pangeran Arya Sacadilaga, putu Pangeran Arya Natadilaga;

3. Kabupatian Talagawetan; dipimpin oleh Pangeran Kartanagara, putera ke-4 Pangeran Adipati Wiranata; dan

4. Kabupatian Talagakulon; dipimpin oleh Dalem Surya Sepuh, putu Pangeran Adipati Jayawiriya.

Keempat bupati dari empat Kabupatian Talaga ketika itu mendapat julukan Pangeran Papat, karena dalam satu masa yang bersama-sama mengurus Negara Talaga.

Masuknya Dajjal (Kaum Penjajah) dari Erofa di Talaga

Seiring masa berlalu munculah “munding-munding bule” di bumi pertiwi, yakni dimulai dengan datangnya perjajah Portugis, Spanyol, dan akhirnya Belanda (VOC). Dengan politik Devide et impera atau politik pecah belah, pada umumnya mereka berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di tanah air, tidak terkecuali Talaga.

Pada tahun 1806 M Belanda menjadikan empat Kabupatian Talaga menjadi satu kabupatian dengan bupatinya Pangeran Arya Sacanata II. Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1818 M Kabupatian Talaga digabung dengan Kabupatian Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka yang kita kenal sekarang.

Sesuai dengan rencana licik VOC bahwa sebagai konsekuensi digabungnya dua kabupaten itu mengharuskan Bupati pindah dari Talaga ke Majalengka. Pangeran Sacanata II sebagai Bupati Majalengka ketika itu menolak untuk meninggalkan Talaga dan akhirnya dipensiunkan oleh Belanda (VOC) dengan hak jasa pensiun sebidang tanah sawah lima puluh bahu. Dengan demikian Pangeran Sacanata II (Eyang Regasari) mendapat julukan Bopati Panungtung Talaga.

Sebutan “Bopati Talaga” Menjadi “Sesepuh Talaga”

Karena dari rundayan Talaga pasca penggabungan antara Kabupatian Talaga dan Sindangkasih itu tidak ada yang memegang kekuasaan secara politik, maka para sesepuh Talaga bermusyawarah untuk menentukan orang yang akan memegang dan mengurus benda-benda pusaka karuhun Talaga. Ketika itu disepakati bahwa yang berhak mengurus benda-benda itu adalah keturunan yang mempunyai hubungan langsung dari Pangeran Sacanata II dari pihak anak laki-laki, jika anak laki-laki tidak ada maka pihak perempuan pun diperbolehkan asal jika mempunyai anak laki-laki maka pengurusan benda pusaka harus kembali dipegang pihak laki-laki.

Beriku ini adalah orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun Talaga, yang selanjutnya mereka disebut para Sesepuh Talaga:

1. Pangeran Sumanagara (1820-1840 M), putera sulung Pangeran Arya Sacanata II;

2. Nyi Raden Anggrek (1840 – 1865 M), puteri Pangeran Sumanagara;

3. Raden Natakusumah (1865 – 1895 M), putera Nyi Raden Anggrek;

4. Raden Natadiputra (1895 – 1925 M), putera Raden Natakusumah;

5. Nyi Raden Masri’ah (1925 – 1948 M), puteri Raden Natadiputra;

6. Raden Acap Kartadilaga (1948 – 1970 M), suami Nyi Raden Masri’ah;

7. Nyi Raden Mardiyah (1970 – 1993 M), puteri Daden Acap kartadilaga;

8. Raden Oo Mohammad Syamsuddin (1993 – 2001 M), putera Nyi Raden Mardiyah; dan

9. Raden Abung Syihabuddin (2001 – sekarang), putera Raden Oo Mohammad Syamsuddin.

Islam di Talaga Berkebang Secara Damai

Agama Islam di wilayah Kerajaan Talaga berkembang pesat berkat kerja keras dan suri tauladan yang indah dan cinta damai dari para da’i Islam yang didukung toleransi penuh dari para penguasa Hindu Kahiyangan baik yang menguasai Talaga, Galuh, maupun Pakuan Pajajaran. Bayangkan jika tidak ada toleransi dari para penguasa Hindu yang ada di tanah Pasundan, mungkin sekali penyebaran Islam di Talaga khususnya dan Tanah Pasundan umunya akan dipenuhi dengan cucuran darah dan pertumpahan darah.

Insya Allah, kemakmuran dan kedamaian Talaga akan senantiasa tercipta manakala segenap penduduknya senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, saling mengasihi dan menyayangi, mengembangkan budaya toleransi dan menjauhi budaya kekerasan. Kita harus senantiasa ingat bahwa budaya kekerasan Wahabiyah, melalui gerakan DI TII yang sempat mengoyak-oyak sebagian wilayah Talaga tidak terulang lagi.

Amin dan Alhamdulillahirabbil ‘alamiin



[1] Tadinya penulis tidak menyangka bahwa di atas kuburan beliau betul-betul hanya ada satu pohon rotan (ketika itu sudah pugur dengan satu lembar daun) sesuai dengan tanda-tanda yang disebutkan dalam Babad Talaga, Subhanallah.

[2] Penemuan letak makam Raden Ragamantri telah dicek dan diakui kebenarannya oleh Kang Yuyun, Spiritualis Talaga beberapa waktu setelah penulis memohon beliau untuk mencek kebenaran apa yang telah disampaikan Eyang Ragamntri kepada penulis secara spiritual itu.

[3] Beberapa tahun yang lalu, Dalem Kulanata memberitahu kepada Kakanda Penulis, Mahfuddin melalui mimpi agar makam beliau yang terletak di pemakaman umum Maja Selatan diperbiki. Hal ini sudah diberitahukan kepada kuncen pekuburan.

[4] Dinikahi oleh Ariya Paningsingan

[5] Dinikahi oleh Syekh Sayyid Pamijahan

[6] Menurunkan para penguasa di Sagalaherang Subang dan Cianjur.

1 comment:

Anonymous said...

Dari hasil pernikahan antara Raden Arya Adipati Surawijaya dengan Ratu Kartaningrat....
5.Pangeran Mangundjaja

(data: Bapak mertua putra dari Rd. Wikrim Kartaatmadja cucu dari Rd. Asrep Tjakrawidjaja)

Kalau salah mohon di abaikan.
Terima kasih

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar OKE